Khodijah binti
Khuwailid
Istri Yang Tercinta
Wahai Muslimah…
Mengapa kita harus mencari panutan yang lain,
Kalau di hadapan kita ada sosok yang paling baik,
dan Mulia Ibu bagi orang Mukminin…
Istri yang setia lagi Taat…
Sebagai penentram hati sang suami…
dan sebaik-baik teladan bagi kaum wanita…
Simaklah sabda Rasulullah :
“Sebaik-baik wanita ialah Maryam binti Imran. Sebaik-baik wanita ialah Khadijah binti Khuwailid. (HR Muslim dari Ali bin Abu Thalib radiyallahu ‘anhu).
“Sebaik-baik wanita ialah Maryam binti Imran. Sebaik-baik wanita ialah Khadijah binti Khuwailid. (HR Muslim dari Ali bin Abu Thalib radiyallahu ‘anhu).
“Dan sebaik -baik wanita dalam masanya adalah Khadijah”
Dialah Khadijah binti Khuwailid istri Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang pertama. Ia lahir pada tahun 68 sebelum Hijrah. Hidup
dan tumbuh serta berkembang dalam suasana keluarga yang terhormat dan
terpandang, berakhlak mulia, terpuji, berkemauan tinggi, serta mempunyai akal
yang suci, sehingga pada zaman jahiliyah diberi gelar “Ath-Thahirah”.
Khadijah adalah wanita kaya yang hidup dari usaha perniagaan.
Dan untuk menjalankan perniagaannya itu ia memiliki beberapa tenaga laki-laki,
diantaranya adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (sebelum beliau
menjadi suaminya).
Sebenarnya Khadijah adalah wanita janda yang telah menikah dua
kali. Pertama ia menikah dengan Zurarah At-Tamimi dan yang kedua menikah dengan
Atid bin Abid Al-Makhzumi. Dan masing-masing wafat dengan meninggalkan seorang
putera.
Pada masa jandanya, banyak tokoh Quraisy yang ingin
mempersuntingnya. Namun ia selalu menolaknya. Dibalik semua itu, Allah memang
telah mempersiapkan Khadijah binti khuwailid untuk menjadi pendamping Rasul-Nya
yang terakhir, yakni Muhammad bin Abdullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Untuk
pembela dan penolong risalah yang beliau sampaikan.
Pada usianya yang ke empat puluh, beliau menikah dengan Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada waktu itu Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam belum diangkat menjadi rasul dan baru berusia 25
tahun.
Perbedaan usia tidaklah menimbulkan permasalahan bagi rumah
tangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pada waktu membentuk rumah tangga dengannya tidak mempunyai
isteri yang lainnya.
Pernikahannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dikaruniai beberapa putera oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu Qosim,
Abdullah, Zainab, Ruqayah, Ummu Kultsum dan Fathimah. Namun putera beliau yang
laki-laki meninggal dunia sebelum dewasa.
Suatu hari Khadijah mendapatkan suaminya pulang dalam keadaan
gemetaran. Terpancar dari raut wajahnya kekhawatiran dan ketakutan yang sangat
besar.
“Selimuti aku!…., Selimuti aku!…, “ seru Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada isterinya. Demi melihat kondisi yang seperti itu,
tidaklah membuat Khodijah menjadi panik. Kemudian diselimuti dan dicoba untuk
menenangkan perasaan suaminya. Rasul pun segera menceritakan pada istrinya,
kini tanpa disadarinya, tahulah ia bahwa suaminya adalah utusan Allah subhanahu
wa ta’ala. Dengan tenang dan lemah lembut, Khadijah berkata : ”Wahai putera
pamanku, Demi Allah, dia tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Karena
sesungguhnya engkau termasuk orang yang selalu menyambung tali persaudaraan,
berkata benar, setia memikul beban, menghormati dan suka menolong orang lain”.
Tutur kata manis dari sang istri menjadikan beliau lebih percaya diri dan
tenang. Khadijah, …sungguh mulia akhlaqmu.
Diawal permulaan Islam, peranan Khadijah tidaklah sedikit.
Dengan setia ia menemani suaminya dalam menyampaikan Risalah yang diemban oleh
beliau dari Rabb Subhanahu wa Ta’ala. Wanita pertama yang beriman kepada Allah
ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajaknya menuju jalan
Rabb-Nya. Dia yang membantu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
mengibarkan bendera Islam. bersama Rasulullah sebagai angkatan pertama. Dengan
penuh semangat, Khadijah turut berjihad dan berjuang, mengorbankan harta, jiwa,
dan berani menentang kejahilan kaumnya.
Khadijah seorang yang senantiasa menentramkan dan menghibur
Rasul disaat kaumnya mendustakan risalah yang dibawa. Seorang pendorong utama
bagi Rasul untuk selalu giat berda’wah, bersemangat dan tidak pantang menyerah.
Ia juga selalu berusaha meringankan beban berat di pundak Rasul. Perhatikan
pujian Rasul terhadap Khadijah :
“Dia (Khadijah) beriman kepadaku disaat orang-orang mengingkari. Ia membenarkanku disaat orang mendustakan. Dan ia membantuku dengan hartanya ketika orang-orang tiada mau”. (HR. Ahmad, Al-Isti’ab karya Ibnu Abdil Ba’ar)
“Dia (Khadijah) beriman kepadaku disaat orang-orang mengingkari. Ia membenarkanku disaat orang mendustakan. Dan ia membantuku dengan hartanya ketika orang-orang tiada mau”. (HR. Ahmad, Al-Isti’ab karya Ibnu Abdil Ba’ar)
Kebijakan, kesetiaan dan berbagai kebaikan Khadijah tidak pernah
lepas dari ingatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan sampai Khadijah
meninggal. Ia benar-benar seorang istri yang mendapat tempat tersendiri di
dalam hati Rasulullah shallallalhu ‘alaihi wa sallam. Betapa kasih beliau
kepada Khadijah, dapat kita simak dari ucapan ‘Aisyah . “Belum pernah aku
cemburu terhadap istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana
cemburuku pada Khadijah, padahal aku tidak pernah melihatnya. Tetapi Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menyebut-nyebut namanya, bahkan adakalanya
menyembelih kambing dan dibagikannya kepada kawan-kawan Khadijah. Bahkan pernah
saya tegur, seakan-akan di dunia tidak ada wanita selain Khadijah, lalu Nabi
menyebut beberapa kebaikan Khadijah, dia dahulu begini dan begitu, selain itu,
aku mendapat anak daripadanya.”
Khadijah binti Khuwailid, wafat tiga tahun sebelum hijrah dalam
usia 65 tahun. Kepergiaannya membuat kesedihan yang sangat mendalam di hati
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun umat Islam. Ia pergi menghadap
Rabb-Nya dengan meninggalkan banyak kebaikan yang tak terlupakan.
Itulah Khadijah binti Khuwailid, yang Allah pernah menyampaikan
peghormatan (salam) kepadanya dan Allah janjikan untuknya sebuah rumah di
Syurga. Sebagaimana telah disebut dalam hadist dari Abu Hurairah: “Jibril
datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai
Rasulullah, ini Khadijah datang kepada engkau dengan membawa bejana berisi lauk
pauk atau makanan atau minuman. Apabila ia datang kepadamu, sampaikanlah salam
kepadanya dari Tuhannya Yang Maha Mulia lagi Maha Agung dan juga dariku dan
kabarkanlah berita gembira kepadanya mengenai sebuah rumah di surga yang
terbuat dari mutiara di dalamnya tidak ada keributan dan kesusahan.” (HR Muslim
dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu).
Wahai orang yang terperdaya, .. istana tersebut lebih baik dari
pada gemerlapnya dunia yang telah memperdayakanmu. Dan ini adalah sebaik-baik
kabar gembira dibanding dunia dan segala isinya. Tidakkah kalian ingin
mendapatkannya pula?
Mudah-mudahan Allah memberikan balasan kepada Khadijah atas
segala jasa dan kebaikanya dalam membela agama dan Rasul-Nya dengan balasan
yang sebaik-baiknya, penuh kenikmatan dan kecemerlangan di dalam “istananya”.
Aisyah binti Abu Bakar
Hari-hari indah bersama kekasih Allah dilalui dengan singkatnya
ketabahan menghiasi kesendiriannya guru besar bagi kaumnya pendidikan kekasih
Allah telah menempanya.
Dia adalah putri Abu Bakar Ash-Shiddiq , yang Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih suka memanggilnya “Humaira”. ‘Aisyah binti
Abu Bakar Abdullah bin Abi Khafafah berasal dari keturunan mulia suku Quraisy.
Ketika umur 6 tahun, gadis cerdas ini dipersunting oleh manusia
termulia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan perintah Allah
melalui wahyu dalam mimpi beliau.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisahkan mimpi beliau
kepada ‘Aisyah :”Aku melihatmu dalam mimpiku selama tiga malam, ketika itu
datang bersamamu malaikat yang berkata : ini adalah istrimu. Lalu aku singkap
tirai yang menyembunyikan wajahmu , lalu aku berkata sesungguhnya hal itu telah
ditetapkan di sisi Allah.” (Muttafaqun ‘alaihi dari ‘Aisyah radilayallahu
‘anha)
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha memulai hari-harinya bersama Rasulullah
sejak berumur 9 tahun. Mereka mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga yang
diliputi suasana Nubuwwah. Rumah kecil yang disamping masjid itu memancarkan
kedamaian dan kebahagiaan walaupun tanpa permadani indah dan gemerlap lampu
yang hanyalah tikar kulit bersih sabut dan lentera kecil berminyak samin
(minyak hewan).
Di rumah kecil itu terpancar pada diri Ummul Mukminin teladan yang
baik bagi istri dan ibu karena ketataatannya pada Allah, rasul dan suaminya.
Kepandaian dan kecerdasannya dalam mendampingi suaminya, menjadikan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mencintainya. Aisyah menghibur Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mencintainya. Aisyah menghibur Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedih, menjaga kehormatan diri dan harta
suami tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berda’wah di jalan
Allah.
Aisyah radhiyallahu ‘anha juga melalui hari-harinya dengan siraman
ilmu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga ribuan hadist
beliau hafal.
Aisyah radhiyallahu ‘anha juga ahli dalam ilmu faraid (warisan dan
ilmu obat-obatan). Urmah bin Jubair putra Asma binti Abu Bakar bertanya kepada
Aisya radhiyallahu ‘anha :” Wahai bibi, dari mana bibi mempelajari ilmu
kesehatan?.” Aisyah menjawab :”Ketika aku sakit, orang lain mengobatiku, dan
ketika orang lain sakit aku pun mengobatinya dengan sesuatu. Selain itu, aku
mendengar dari orang lain, lalu aku menghafalnya.”
Selain keahliannya itu, Aisyah juga seorang wanita yang menjaga
kesuciannya. Seperti kisah beliau sepulang dari perang Hunain, yang dikenal
dengan haditsul ifqi. Ketika mendekati kota Madinah, beliau kehilangan perhiasan
yang dipinjam dari Asma. Lalu dia turun untuk mencari perhiasan itu. Rombongan
Rasulullah dan para sahabatnya berangkat tanpa menyadari bahwa Aisyah
tertinggal. Aisyah menanti jemputan, dan tiba-tiba datanglah Sufyan bin Muathal
seorang tentara penyapu ranjau. Melihat demikian, Sufyan menyabut Asma Allah
lalu Sufyan turun dan mendudukkan kendaraanya tanpa sepatah katapun keluar dari
mulutnya kemudian Aisyah naik kendaraan tersebut dan Sufyan menuntun kendaraan
tersebut dengan berjalan kaki. Dari kejadian ini, orang-orang yang berpenyakit
dalam hatinya menyebarkan kabar bohong untuk memfitnah ummul Mukminin Aisyah
radhiyallahu ‘anha. Fitnah ini menimbulkan goncangan dalam rumah tangga
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi Allah yang Maha Tahu berkehendak
menyingkap berita bohong tersebut serta mensucikan beliau dalam Al-Qur’anul
Karim dalam surat An-Nur ayat 11-23.
Diantara kelebihan beliau yang lainnya, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memilih untuk dirawat di rumah Aisyah dalam sakit menjelang
wafatnya. Hingga akhirnya Rasulullah wafat di pangkuan Aisyah dan dimakamkan
dirumahnya tanpa meninggalkan harta sedikitpun. Ketika itu Aisyah radhiyallahu
‘anha berusia 18 tahun. Sepeninggal Rasulullah, Aisyah mengisi hari-harinya
dengan mengajarkan Al-Qur’an dan Hadits dibalik hijab bagi kaum laki-laki pada
masanya.
Dengan kesederhanaannya, beliau juga menghabiskan hari-harinya
dengan ibadah kepada Allah, seperti puasa Daud. Kesederhanaan juga nampak
ketika kaum muslimin mendapatkan kekayaan dunia, beliau mendapatkan 100.000
dirham. Saat itu beliau berpuasa, tetapi uang itu semua disedekahkan tanpa sisa
sedikitpun. Pembantu wanitanya mengingatkan beliau :”Tentunya dengan uang itu
anda bisa membeli daging 1 dirham buat berbuka?” Aisyah menjawab : ”Andai kamu
mengatakannya tadi, tentu kuperbuat.”
Begitulah beliau yang tidak gelisah dengan kefakiran dan tidak
menyalahgunakan kekayaan kezuhudannya terhadap dunia menambah kemuliaan.
Saudah binti Zam’ah
Namanya menggoreskan tinta emas dalam lembaran sejarah kaum
muslimin. Dia wanita yang tabah. Keinginan menjadi pendamping Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai wafatnya adalah bukti kesetiannya terhadap
beliau. Dia adalah Saudah binti Zam’ah. Aku ingin sekali menjadi dirinya.
Saudah menikah pertama kali dengan Sakran bin Amr, saudara
laki-laki Suhaili bin Amr Al-Amiri. Ia bersama suaminya adalah termasuk kelompok
kaum muslimin yang berjumlah 8 orang dari Bani Amir yang hijrah ke Habasyah
dengan meninggalkan harta-harta mereka. Mereka arungi laut penderitaan diatas
keridhaan, rela atas kematian yang akan menghadangnya, demi kemenangan agama
yang mulia ini. Dan sungguh bertambah keras siksa dan kesempitan yang
dialaminya karena penolakan mereka terhadap kesasatan dan kesyirikan.
Tak lama kemudian setelah berakhirnya pengujian pengungsian di
negeri Habasyah, ujian yang lainpun datang. Saudah harus kehilangan suaminya
menghadap Sang Khaliq selama-lamanya. Maka jadilah ia seorang janda seiring
dengan usianya yang mulai menapaki masa senja.
Hari-hari duka dilalui dengan ketabahan. Dan inilah yang membuat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa terkesan kepadanya serta
bersedia membantu Saudah tak ubahnya seperti masa kedukaan yang dialami
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak meninggalnya Khadijah Ummul
Mukminin Ath-Thahirah. Wanita pertama yang beriman dikala manusia berada dalam
kekafiran, yang mendermakan hartanya ketika manusia menahannya, dan melalui
dialah Allah anugerahkan seorang putera.
Namun setelah masa-masa itu datanglah Khaulah binti Hakim kepada
Rasulullah seraya bertanya:”Tidakkah engkau ingin menikah lagi, Ya
Rasulullah?.” Dengan suara sedih dan duka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab :”Siapakah yang akan menjadi istriku setelah Khadijah, ya
Khaulah?” Khaulah berkata lagi :”Terserah padamu , ya Rasulullah.., engkau
menginginkan yang gadis atau yang janda”. “Siapakah yang masih perawan?”, tanya
Rasulullah kepada Khaulah. Khaulah pun menjawab :”Anak perempuan dari orang
yang paling engkau cintai, ‘Aisyah binti Abu Bakar”. “Dan siapakah kalau
janda?” tanya beliau. Khaulah menjawab: “Ia adalah Saudah binti Zam’ah, yang ia
beriman kepadamu dan mengikutimu atas apa-apa yang kamu ada padanya”.
Akhirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan tidak lama kemudian beliau menikahi Saudah
menjadi pendamping kedua bagi beliau. Kehadirannya sebagai istri dalam rumah
tangga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mampu membahagiakan hati
beliau. Dan Saudah hidup bersendirian dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sekitar tiga tahun lebih. Beliau membantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan putri-putri beliau.
Setelah selama tiga tahun baru kemudian datang lah ‘Aisyah ke rumah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan disusul istri-istri beliau yang
lain seperti Hafshah, Zainab Ummu Salamah, dan lainnya.
Saudah memahami bahwa pernikahannya dengan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam didasari karena rasa iba beliau kepadanya setelah kematian suaminya.
Semua itu menjadi jelas ketika Nabi ingin menceraikannya secara baik-baik,
sehingga ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan tentang
keinginannya untuk talak (thalaq) Saudah, maka Saudah merasa se-akan-akan
berada dalam mimpi yang buruk yang menyesakkan dadanya. Ia tetap ingin menjadi
istri Sayyidul Mursalin sampai Allah membangkitkannya dirinya di hari kiamat
kelak. Dengan suara yang lembut ia berbisik kepada suaminya: “Tahanlah aku,
wahai Rasulullah dan demi Allah, aku berharap Allah membangkitkan aku di hari
Kiamat dalam keadaan aku sebagai istrimu”. Kemudian ia memberikan hari-hari
gilirannya untuk ‘Aisyah istri yang sangat disayangi beliau.
Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperkenankan
permintaan wanita yang mempunyai perasaan baik ini. Sehingga Allah turunkan
ayat tentang hal ini, yaitu dalam surat An-Nisa ayat 128 :
“….maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik.”
Rasulullah bersabda : “Tidak ada seorang wanita pun yang paling aku
senangi menjadi orang sepertinya selain Saudah binti Zam`ah… (Hadis riwayat
Muslim dari Aisyah radiyallahu ‘anha).
“Kata Saudah: Wahai Rasulullah, aku berikan hariku kepada Aisyah
radliyallahu ‘anha. Jadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi waktu
kepada Aisyah radliyallahu ‘anha dua hari, sehari miliknya sendiri dan sehari
lagi pemberian Saudah.”(HR Muslim dari Aisyah radliyallahu ‘anha)
Demikianlah Ummul Mukminin Saudah tinggal di rumah Nabi, dan beliau
hari-harinya dengan keridhaan, ketenangan dan rasa syukur kepada Allah sampai
kepergiannya menghadap Rabbnya dimasa pemerintahan Umar bin Khaththab
radhiyallahu ‘anhu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada. Komentar yang mengarah ke tindakan spam akan di hapus atau terjaring secara otomatis oleh spam filter.