Sekarang
kita bicara bukti-bukti ilmiyah dalam alqur'an dan setelah saya
berikan
bukti-buktinya maka saya mau minta bukti ilmiyah dari injil
berupa
bukti nyata yang bisa dipercaya secara ilmiyah.
antara
lain bukti-bukti yang terdapat dalam alqur'an adalah
1.
Kemenangan Bizantium.
Penggalan
berita lain yang disampaikan Al Qur’an tentang peristiwa
masa
depan ditemukan dalam ayat pertama Surat Ar Ruum, yang merujuk
pada
Kekaisaran Bizantium, wilayah timur Kekaisaran Romawi. Dalam
ayat-ayat
ini, disebutkan bahwa Kekaisaran Bizantium telah mengalami
kekalahan
besar, tetapi akan segera memperoleh kemenangan.
“Alif,
Lam, Mim. Telah dikalahkan bangsa Romawi, di negeri yang
terdekat
dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang, dalam beberapa
tahun
(lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka
menang).”
(Al Qur’an, 30:1-4)
Ayat-ayat
ini diturunkan kira-kira pada tahun 620 Masehi, hampir tujuh
tahun
setelah kekalahan hebat Bizantium Kristen di tangan bangsa
Persia,
ketika Bizantium kehilangan Yerusalem. Kemudian diriwayatkan
dalam
ayat ini bahwa Bizantium dalam waktu dekat menang. Padahal,
Bizantium
waktu itu telah menderita kekalahan sedemikian hebat hingga
nampaknya
mustahil baginya untuk mempertahankan keberadaannya
sekalipun,
apalagi merebut kemenangan kembali. Tidak hanya bangsa
Persia,
tapi juga bangsa Avar, Slavia, dan Lombard menjadi ancaman
serius
bagi Kekaisaran Bizantium. Bangsa Avar telah datang hingga
mencapai
dinding batas Konstantinopel. Kaisar Bizantium, Heraklius,
telah
memerintahkan agar emas dan perak yang ada di dalam gereja
dilebur
dan dijadikan uang untuk membiayai pasukan perang. Banyak
gubernur
memberontak melawan Kaisar Heraklius dan dan Kekaisaran
tersebut
berada pada titik keruntuhan. Mesopotamia, Cilicia, Syria,
Palestina,
Mesir dan Armenia, yang semula dikuasai oleh Bizantium,
diserbu
oleh bangsa Persia. (Warren Treadgold, A History of the
Byzantine
State and Society, Stanford University Press, 1997, s.
287-299.)
Pendek
kata, setiap orang menyangka Kekaisaran Bizantium akan runtuh.
Tetapi
tepat di saat seperti itu, ayat pertama Surat Ar Ruum
diturunkan
dan mengumumkan bahwa Bizantium akan mendapatkan kemenangan
dalam
beberapa+tahun lagi. Kemenangan ini tampak sedemikian mustahil
sehingga
kaum musyrikin Arab menjadikan ayat ini sebagai bahan
cemoohan.
Mereka berkeyakinan bahwa kemenangan yang diberitakan Al
Qur’an
takkan pernah menjadi kenyataan.
Sekitar
tujuh tahun setelah diturunkannya ayat pertama Surat Ar Ruum
tersebut,
pada Desember 627 Masehi, perang penentu antara Kekaisaran
Bizantium
dan Persia terjadi di Nineveh. Dan kali ini, pasukan
Bizantium
secara mengejutkan mengalahkan pasukan Persia. Beberapa
bulan
kemudian, bangsa Persia harus membuat perjanjian dengan
Bizantium,
yang mewajibkan mereka untuk mengembalikan wilayah yang
mereka
ambil dari Bizantium. (Warren Treadgold, A History of the
Byzantine
State and Society, Stanford University Press, 1997, s.
287-299.)
Akhirnya,
“kemenangan bangsa Romawi” yang diumumkan oleh Allah
dalam
Al Qur’an, secara ajaib menjadi kenyataan.
Keajaiban
lain yang diungkapkan dalam ayat ini adalah pengumuman
tentang
fakta geografis yang tak dapat ditemukan oleh seorangpun di
masa
itu.
Dalam
ayat ketiga Surat Ar Ruum, diberitakan bahwa Romawi telah
dikalahkan
di daerah paling rendah di bumi ini. Ungkapan “Adnal
Ardli”
dalam bahasa Arab, diartikan sebagai “tempat yang dekat”
dalam
banyak terjemahan. Namun ini bukanlah makna harfiah dari kalimat
tersebut,
tetapi lebih berupa penafsiran atasnya. Kata “Adna”
dalam
bahasa Arab diambil dari kata “Dani”, yang berarti
“rendah”
dan “Ardl” yang berarti “bumi”. Karena itu,
ungkapan
“Adnal Ardli” berarti “tempat paling rendah di
bumi”.
Yang
paling menarik, tahap-tahap penting dalam peperangan antara
Kekaisaran
Bizantium dan Persia, ketika Bizantium dikalahkan dan
kehilangan
Jerusalem, benar-benar terjadi di titik paling rendah di
bumi.
Wilayah yang dimaksudkan ini adalah cekungan Laut Mati, yang
terletak
di titik pertemuan wilayah yang dimiliki oleh Syria,
Palestina,
dan Jordania. “Laut Mati”, terletak 395 meter di bawah
permukaan
laut, adalah daerah paling rendah di bumi.
Ini
berarti bahwa Bizantium dikalahkan di bagian paling rendah di
bumi,
persis seperti dikemukakan dalam ayat ini.
Hal
paling menarik dalam fakta ini adalah bahwa ketinggian Laut Mati
hanya
mampu diukur dengan teknik pengukuran modern. Sebelumnya,
mustahil
bagi siapapun untuk mengetahui bahwasannya ini adalah wilayah
terendah
di permukaan bumi. Namun, dalam Al Qur’an, daerah ini
dinyatakan
sebagai titik paling rendah di atas bumi. Demikianlah, ini
memberikan
bukti bahwa Al Qur’an adalah wahyu Ilahi.
2.
Mengembangnya alam semesta.
Dalam
Al Qur’an, yang diturunkan 14 abad silam di saat ilmu
astronomi
masih terbelakang, mengembangnya alam semesta digambarkan
sebagaimana
berikut ini:
“Dan
langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya
Kami
benar-benar meluaskannya.” (Al Qur’an, 51:47)
Kata
“langit”, sebagaimana dinyatakan dalam ayat ini, digunakan di
banyak
tempat dalam Al Qur’an dengan makna luar angkasa dan alam
semesta.
Di sini sekali lagi, kata tersebut digunakan dengan arti ini.
Dengan
kata lain, dalam Al Qur’an dikatakan bahwa alam semesta
“mengalami
perluasan atau mengembang”. Dan inilah yang kesimpulan
yang
dicapai ilmu pengetahuan masa kini.
Hingga
awal abad ke-20, satu-satunya pandangan yang umumnya diyakini
di
dunia ilmu pengetahuan adalah bahwa alam semesta bersifat tetap dan
telah
ada sejak dahulu kala tanpa permulaan. Namun, penelitian,
pengamatan,
dan perhitungan yang dilakukan dengan teknologi modern,
mengungkapkan
bahwa alam semesta sesungguhnya memiliki permulaan, dan
ia
terus-menerus “mengembang”.
Pada
awal abad ke-20, fisikawan Rusia, Alexander Friedmann, dan ahli
kosmologi
Belgia, George Lemaitre, secara teoritis menghitung dan
menemukan
bahwa alam semesta senantiasa bergerak dan mengembang.
Fakta
ini dibuktikan juga dengan menggunakan data pengamatan pada
tahun
1929. Ketika mengamati langit dengan teleskop, Edwin Hubble,
seorang
astronom Amerika, menemukan bahwa bintang-bintang dan galaksi
terus
bergerak saling menjauhi. Sebuah alam semesta, di mana segala
sesuatunya
terus bergerak menjauhi satu sama lain, berarti bahwa alam
semesta
tersebut terus-menerus “mengembang”. Pengamatan yang
dilakukan
di tahun-tahun berikutnya memperkokoh fakta bahwa alam
semesta
terus mengembang. Kenyataan ini diterangkan dalam Al Qur’an
pada
saat tak seorang pun mengetahuinya. Ini dikarenakan Al Qur’an
adalah
firman Allah, Sang Pencipta, dan Pengatur keseluruhan alam
semesta.
3.
Lautan yang tidak bercampur satu sama lain.
Salah
satu di antara sekian sifat lautan yang baru-baru ini ditemukan
adalah
berkaitan dengan ayat Al Quran sebagai berikut:
“Dia
membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu,
antara
keduanya ada batas yang tak dapat dilampaui oleh masing-masing
…
Dari keduanya keluar mutiara dan marjan.” (Al Qur’an,
55:19-20,22)
Sifat
lautan yang saling bertemu, akan tetapi tidak bercampur satu
sama
lain ini telah ditemukan oleh para ahli kelautan baru-baru ini.
Dikarenakan
gaya fisika yang dinamakan “tegangan permukaan”, air
dari
laut-laut yang saling bersebelahan tidak menyatu. Akibat adanya
perbedaan
masa jenis, tegangan permukaan mencegah lautan dari
bercampur
satu sama lain, seolah terdapat dinding tipis yang
memisahkan
mereka. (Davis, Richard A., Jr. 1972, Principles of
Oceanography,
Don Mills, Ontario, Addison-Wesley Publishing, s.
92-93.)
Dari
keduanya, dapat digali berbagai kekayaan alam khususnya mutiara
dan
marjan.
Sisi
menarik dari hal ini adalah bahwa pada masa ketika manusia tidak
memiliki
pengetahuan apapun mengenai fisika, tegangan permukaan,
ataupun
ilmu kelautan, hal ini dinyatakan dalam Al Qur?an.
Suatu
fenomena lain yang sering kita dapatkan adalah bahwa air lautan
yang
asin, dengan air sungai-sungai besar yang tawar tidak bercampur
seketika.
Orang mengira bahwa Qur-an membicarakan sungai Euphrat dan
Tigris
yang setelah bertemu dalam muara, kedua sungai itu membentuk
semacam
lautan yang panjangnya lebih dari 150 km, dan dinamakan Syath
al
Arab. Di dalam teluk pengaruh pasang surutnya air menimbulkan suatu
fenomena
yang bermanfaat yaitu masuknya air tawar ke dalam tanah
sehingga
menjamin irigasi yang memuaskan. Untuk memahami teks ayat,
kita
harus ingat bahwa lautan adalah terjemahan kata bahasa Arab
“Bahr”
yang berarti sekelompok air yang besar, sehingga kata itu
dapat
dipakai untuk menunjukkan lautan atau sungai yang besar seperti
Nil,
Tigris dan Euphrat.
Dua
ayat yang memuat fenomena tersebut adalah sebagai berikut:
“Dan
Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan); yang
ini
tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit, Dia jadikan antara
keduanya
dinding dan batas yang menghalangi.” (QS. 25:53)
“Dan
tidak sama (antara) dua laut. Yang ini tawar segar sedap
diminum,
dan yang ini asin lagi pahit. Dan dari masing-masing laut itu
kamu
dapat memakan daging yang segar dan kamu dapat mengeluarkan
perhiasan
yang dapat kamu memakainya.” (QS. 35:12)
Selain
menunjukkan fakta yang pokok, ayat-ayat tersebut menyebutkan
kekayaan-kekayaan
yang dikeluarkan dari air tawar dan air asin yaitu
ikan-ikan
dan hiasan badan: batu-batu perhiasan dan mutiara. Mengenai
fenomena
tidak campurnya air sungai dengan air laut di muara-muara hal
tersebut
tidak khusus untuk Tigris dan Euphrat yang memang tidak
disebutkan
namanya dalam ayat walaupun ahli-ahli tafsir mengira bahwa
dua
sungai besar itulah yang dimaksudkan. Sungai-sungai besar yang
menuang
ke laut seperti Missisippi dan Yang Tse menunjukkan
keistimewaan
yang sama; campurnya kedua macan air itu tidak terlaksana
seketika
tetapi memerlukan waktu.
Al-Qur’an
diungkapkan dengan gaya bahasa dan uslub bermacam-macam
dengan
pokok bahasan yang bermacam-macam pula yaitu bidang aqidah,
akhlaq
dan pembentukan hukum Islam (syar’iyyah tasyri’iyyah), yang
satu
sama lainnya tidak terdapat kontradiksi dan pertentangan. Allah
swt.
telah memberi petunjuknya dalam Q.S. al-Nisa : 82 sebagai berikut
:
Artinya
: Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau
kiranya
al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah tentulah mereka
mendapatkan
pertentangan yang banyak di dalamnya.
Berdasarkan
ayat di atas, seandainya kita temukan ada ayat al-Qur’an
yang
lahirnya kontradiktif antara satu ayat dengan ayat lainnya, maka
setelah
diadakan pembahasan dan penelitian, tampaklah keserasian dan
keharmonisannya,
tidak ada kontradiksi di dalamnya. Seandainya
al-Qur’an
itu datang selain dari Allah, niscaya akan didapatkan
kontradiksi yang banyak di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada. Komentar yang mengarah ke tindakan spam akan di hapus atau terjaring secara otomatis oleh spam filter.